Thursday, March 22, 2007

Menimbang Logika Awam


Assalamu'alaikum Wr.Wb.

Menimbang Logika Awam
01/03/2003
Mereka berkata: "Sesungguhnya jika kita telah kembali ke Madinah,
benar-benar orang yang kuat akan mengusir orang-orang yang lemah
daripadanya. Padahal kekuatan itu hanyalah bagi Allah, bagi
Rasul-Nya dan bagi orang-orang mukmin, tetapi orang-orang munafik
itu tiada mengetahui." (Al-Munafiqun: 8).

Tak biasa, orang munafik turut serta dalam perang Bani Musthaliq.
Kebetulan dua sahabat terlibat pertikaian saat itu. Adalah Jahjah
bin Sa'id al-Ghifari bertengkar dengan Sinan bin Wabr al-Jahni di
dekat telaga al-Muraisi. Dalam pertengkaran yang mengarah saling
membunuh itu, Sinan berteriak: "Wahai kaum Anshar," Jahjah juga
berteriak: "Wahai kaum Muhajirin!"
Mendengar kejadian itu, tokoh munafik, Abdullah bin Ubay bin Salul
berang dan berkata di depan kaum munafik: "Mereka (muhajirin) telah
menyaingi dan mengungguli jumlah kita di negeri sendiri. Demi Allah,
antara kita dengan orang-orang Quraisy ini tak ubahnya seperti
ungkapan orang: "Gemukkan anjingmu, niscaya menerkammu, demi Allah,
jika kita telah sampai Madinah, orang-orang yang mulia pasti akan
mengusir kaum yang hina (muhajirin)."
Zaid bin Arqom yang mendengarkan ucapan itu melapor kepada
Rasulullah saw, dan Allah membenarkannya melalui ayat di atas.
"Demi Allah, jika kita telah sampai Madinah, orang-orang yang mulia
pasti akan mengusir kaum yang hina (muhajirin)," demikian ujaran
Abdullah bin Ubay. Perkataan berbisa yang menyakitkan muncul dari
musuh dalam selimut yang tidak seperti biasa bersikap hipokrit,
melainkan telah mengancam hendak mengusir Rasulullah beserta
sahabatnya dari Madinah.
Umar bin Khattab yang mendengar berita itu berkata, "Wahai
Rasulullah, izinkan aku memenggal leher orang munafik ini." Sebuah
permintaan izin yang berangkat dari kesimpulan atas layaknya hukuman
mati bagi si munafik. Tidak hanya Umar ra yang berkesimpulan
demikian, para sahabat, sekembalinya mereka ke Madinah menunggu
tindakan keras yang akan dilakukan Rasulullah terhadap kaum munafik.
Mereka percaya Rasulullah saw bakal membunuh Abdullah bin Ubay.
Desas-desus begitu santer, hingga Abdullah bin Abdullah bin Ubay,
anak Abdullah bin Ubay, datang menemui Rasulullah dan berkata, "Saya
mendengar engkau ingin membunuh ayahku. Jika benar, maka
perintahkanlah aku. Aku bersedia membawa kepalanya kepadamu…."
Namun, baik permohan Umar ra maupun permohonan Abdullah bin Abdullah
bin Ubay ra sama-sama ditolak oleh Rasulullah saw. Kepada Umar bin
Khattab beliau menjawab, "Wahai Umar, bagaimana nanti jika
orang-orang berbicara bahwa Muhammad telah membunuh
sahabat-sahabatnya?" Kepada Abdullah bin Abdullah bin Ubay
Rasulullah berujar, "…bahkan kita akan bertindak lemah lembut dan
berkata baik kepadanya, selama dia masih tinggal bersama kita."
Mengapa Rasulullah tidak mengizinkan pembunuhan Abdullah bin Ubay?
sebuah hukuman yang pantas bagi si munafik? hukuman yang Rasulullah
saw mampu untuk melakukannya?
"Wahai Umar, bagaimana nanti jika orang-orang berbicara bahwa
Muhammad telah membunuh sahabat-sahabatnya?" demikian alasan
Rasulullah. Sebuah ungkapan yang berangkat dari kematangan berpikir
dan bertindak. Saat itu beliau dihadapkan realitas logika awam yang
tidak bisa membenarkan jika kaum munafik dibunuh. Beliau khawatir
hal itu justru menjadi iklan buruk atas citra Rasulullah, dan tentu
citra Islam juga. Dalam hal ini tampak Rasulullah memperhatikan
perspektif umum untuk sebuah parameter, dan bukan perspektif seorang
atau kelompok sahabat masa itu.
Dakwah dan jihad memerlukan simpati dan dukungan luas. Jika tidak,
bersiap-siaplah memiliki banyak musuh. Simpati atau antipati
masyarakat lahir dari perspektif yang dimilikinya. Itulah sebabnya,
mengapa Barat repot-repot membuat opini untuk menciptakan common
enemy? tak lain, untuk meraih simpati dan dukungan yang
seluas-luasnya. Sebagai strategi perjuangan, menggalang opini adalah
lumrah belaka, bahkan ia bersifat aksiomatik dan kauniyah. Tidak
selayaknya dakwah islamiyah memasuki perlawanan terbuka dengan
seluruh front "penentang Islam" dalam satu waktu, melainkan harus
ada skala prioritas dan pembatasan wilayah konflik. Termasuk potensi
"penentang Islam" di sini adalah perspektif (paham) masyarakat yang
keliru, yang jika salah "menanganinya" bisa menjadi penentang yang
sebenarnya, atau bisa digalang musuh untuk menentang.
Ali bin Abi Thalib pernah berpesan, "Jangan kalian sembarang
berbicara di depan orang bodoh, saya takut mereka mendustakan Allah
dan Rasulnya lantaran omongan kalian." Di sinilah letak kematangan
pikiran dan tindakan. Kebodohan masyarakat adalah sebuah realitas.
Yang alim, dituntut arif, dan bukan sikap egois agar masyarakat
harus memahami dirinya.
Penggalan sirah di atas memberikan pelajaran berharga untuk sebuah
sikap menimbang logika awam, yang dalam satu pespektif kadang logika
dimaksud bisa dinilai absurd karena kebodohannya, namun demikian,
dalam konteks tertentu ia justru menjadi parameter sebuah tindakan,
dalam hal ini Rasulullah khawatir tindakan membunuh kaum munafik
menjadi citra negatif baginya, sebuah tindakan yang dalam logika
kebanyakan sahabat lumrah belaka. Wallahu a'lam.